Korban 1965 yang Berprestasi di Negeri Pengasingan

Korban 1965 yang Berprestasi di Negeri Pengasingan

- detikNews
Minggu, 02 Mar 2008 15:45 WIB
Jakarta - Keputusan Komnas HAM untuk membuka kembali kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada 1965 memang patut diacungi jempol. Pengungkapan kasus itu bisa menjadi pembuka kotak pandora tabir kelam sisi lain dari tragedi 1965.

"Pemerintahan silih berganti namun para eksil (orang yang hidup di pengasingan) tragedi 1965 hingga kini masih hidup tanpa kejelasan status. Kasus ini bisa menjadi pembuka kotak pandora tabir dari tragedi 1965. Asal bukan lips service pemerintahan SBY," ujar Staf Khusus Megawati Soekarnoputri, Ari Junaedi, dalam rilis yang diterima detikcom, Minggu (2/3/2008).

Menurut Ari, dalam penelitian disertasinya di Unpad mengenai pola  komunikasi para pelarian politik tragedi 1965 di mancanegara, ditemukan ratusan eksil tragedi 1965 yang akibat kebijakan koersif rezim Soeharto tidak bisa "pulang" karena mengalami pencabutan paspor dan kewarganegaraan. Karena itu, lanjutnya, pengungkapan kasus HAM 1965 sebaiknya tidak saja yang terjadi di Tanah Air, tapi juga terhadap korban-korban HAM 1965 di luar negeri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akibat pencabutan paspor tersebut, Ari yang mengaku sering pulang pergi Jakarta-Beijing dan beberapa negara Eropa eks Uni Sovyet ini, para pelarian politik akhirnya mencari kehidupan mereka sendiri-sendiri. Bagi mereka yang membawa keluarga, tentunya suka dukanya akan berbeda dengan mereka yang berstatus lajang.

"Sangat miris ada yang sudah meraih gelar PhD tetapi di masa tuanya harus mencari kehidupan sebagai sopir taksi atau penjaga kantin sekolah. Mereka ini umumnya yang hijrah ke Barat ketika usianya sudah lanjut dan terlambat dalam mencari kehidupan," papar Ari.

Justru yang mencengangkan, menurutnya, adalah banyaknya para eksil yang mengharumkan nama negara-negara "baru"-nya. Misalnya, Dr Manuaba yang menjadi peletak dasar-dasar pengembangan nuklir di Hongaria, DR Warunojati yang menjadi peneliti di Max Planc Institute Jerman dan penyusun kamus bahasa Melanesia, Bambang Soeharto lulusan Institut Pertelevisian Cekoslovakia yang pernah menjadi satu-satunya orang kelahiran non-Jerman yang sempat menjadi Direktur WDR (TVRI-nya Jerman), Prof Ernoko Adiwasito yang menjadi mahaguru ilmu ekonomi di Venezuela, dan apoteker sukses lulusan Bulgaria yang kini mukim di Berlin, Sri Basuki.

"Ada harapan yang kini masih bergelora dari mereka yaitu permintaan maaf dan pengakuan dari negara. Negara harus melakukan rehabilitasi terhadap para korban rezim tiran itu. Upaya komnas HAM diharapkan menjadi pembuka kotak pandora tabir kelam sisi lain dari tragedi 1965," pungkasnya.

(rmd/nrl)